SEBUAH KISAH DARI TENGAH HUTAN (PART II)


Suara langkah kuda mendekat. Cahaya dari obor yang dibawa penunggangnya mulai terlihat.

“panglima!” seorang pribumi berseru disusul dengan suara dengan aksen lain memanggilnya.

“Rangkuti!”

“disini!” rangkuti berteriak menyahut.

Ketika tentara berkuda itu terdengar semakin mendekat beberapa orang tiba-tiba muncul. Langkah kaki mereka sama sekali tidak terdengar bahkan mereka tidak memerlukan obor sebagai penerangan. Beberapa diantara mereka yang muncul dari pepohonan langsung menghampiri Salim.

“ketua, kami menunggu perintahmu” ujar salah seorang dari mereka.

“tunggu sesaat… ingat, lakukan seperti biasanya”

“baik” orang tersebut menyiapkan sebilah anak panah dari bambu.

Beberapa detik kemudian Salim mengangkat tangannya keatas memberikan isyarat untuk menyerang. “lakukan”

Anak-anak panah melesat dan menjatuhkan obor dari tangan kompeni. Api obor yang jatuh itu membakar daun-daun kering kemudian membesar membuat terang yang tadinya gelap.

Para pemberontak itu tidak menyadari bahwa dari arah yang lain tentara berkuda juga muncul. Rangkuti mengenali suara kuda itu, jenis kuda yang bukan berasal dari Indonesia.

“Ludwig?” kekasihnya itu ternyata ikut menyusul.

Ludwig yang memimpin tentara itu berhenti dan mengelilingi Salim dan Rangkuti.

“kau tak apa-apa?” Tanya Ludwig begitu turun dari kudanya.

“ya, aku baik-baik saja” Rangkuti berdiri menyambut uluran tangan Ludwig.

“kenapa kau belum membunuh inlander ini?” Ludwig menunjuk Salim.

“aku tak ingn pedangku dikotori darahnya” ujar Rangkuti berbohong.

“kalau begitu biar aku dan pasukanku yang mengurusnya” Ludwig menjauhkan Rangkuti dari Salim, kemudian mengambil pistol yang tergantung dipinggangnya dan menarik pelatuk.

“apa yang akan kau lakukan?” ujar Rangkuti panic begitu melihat pistol Ludwig mengarah pada Salim. Tiba-tiba perasaan kuatir dan iba muncul dibatinnya.

“hama inlander ini harus dimusnahkan, karena tidak akan memberikan kebaikan pada negerimu”

“tapi, kau bilang akan menangkapnya dan menyerahkan pada pemimpin negeriku” Rangkuti berusaha mengingatkan Ludwig pada janjinya.

“tidak perlu, hukum Indonesia terlalu lembek untuk mengatasi mereka”

Lelaki berambut jagung itu segera mengarahkan pistol ke dada Salim.

Salim yang sebelumnya terdiam akhirnya angkat bicara, “kau dengar itu Rangkuti, mereka akan selalu seperti itu. Tak ada kalimat dari mulut mereka yang bisa dipercaya. Memeras kekayaan alam negeri ini, lalu mengadu domba masyarakatnya.Serakah! tak ada bedanya dengan anjing-anjing kelaparan dipinggiran jalan negeri mereka”

‘BUK!’

Ludwig menghantamkan pistolnya ke wajah Salim yang membuat  beberapa giginya goyang.

‘CUH!’ Salim meludah darah ke arah Ludwig.

“kata-katamu itu hanya akan menjadi ucapan terakhirmu inlander!” ujar Ludwig yang langsung mengarahkan pistolnya kembali ke dada Salim.

Seorang pemberontak yang menyadari ketuanya terancam ditembak mati berlari secepatnya ke arah Ludwig. ia mnyerang salahsatu tentara dan hendak menolong Salim.

‘DOOR!’

Satu tembakan dilepaskan saat ia tinggal berjarak 2 meter dari Salim.

“bang Salim la..wan, bang” ucapnya sebelum ambruk ke tanah.

“agam”

Salim hendak berlari menyongsong tubuh salahsatu pasukannya itu, namun Ludwig menembakan pelurunya sekali lagi ketika melihat Salim berlari. Pelurunya menembus bahu kanan Salim. Salim mengambil bambu dari tangan Agam kemudian hendak menghunuskannya pada Ludwig. Sekali lagi tembakan dilepaskan. Bambu ditangan Salim sempat melukai kaki Ludwig. Lelaki itu kemudian menendang tubuh Salim.

Rangkuti yang melihatnya berusaha menghalangi. “cukup”

Salim tersungkur lunglai ke tanah. Ludwig tersenyum senang, kemudian ia memberikan perintah pada pasukannya untuk mengurus Salim.

“Seret tubuhnya ke markas biar menjadi tontonan rakyat”

“tapi komandan, pemberontak yang lain masih memberikan perlawanan dan mereka memiliki ilmu beladiri yang tinggi” ujar pasukannya itu ketakutan.

“senjata kalian lebih canggih, kau boleh tembak mereka.”
 ujar Ludwig kembali mengingkari ucapannya untuk tidak membunuh para pemberontak itu. Ludwig menghampiri Rangkuti. perempuan itu nampak kecewa dengannya.

“mari pergi Rangkuti!”

“kau ingkar Ludwig” ucap Rangkuti marah. “kau bilang Belanda berjanji tidak akan membunuh para pribumi yang memberontak tapi akan menangkap mereka dan mengajaknya berdialog”

“aku melakukannya karena mereka ingin membunuhku dan kau” Ludwig berusaha mengelak dengan membela diri dari tuduhan Rangkuti. “ayo kita pergi”

Ludwig mengulurkan tangannya, namun Rangkuti menepisnya. Ludwig menarik tangan Rangkuti.

“lepaskan tanganmu Belanda”

Kali ini Ludwig menarik lebih keras, yang kemudian dibalas Rangkuti dengan satu tendangan ke arah kakinya yang terluka.

“arrgh” Ludwig meringis kesakitan.

Seorang pasukannya berlari ketakutan ke arahnya “komandan, kita harus kembali ke markas dan membawa bantuan pasukan lainnya karena ternyata mereka mampu melawan dan merampas pistol pasukan kita yang terluka oleh mereka”

Ludwig tampak terkejut, dan melihat ke arah pasukannya yang sedang melawan pemberontak. Wajahnya tampak gusar mendengar desingan peluru yang ditembakan para pemberontak.

“bawa beberapa pasukan untuk kembali ke markas bersamaku” perintahnya.

Ludwig kembali mendekati Rangkuti

“baiklah, terserah kau Rangkuti jika tidak ingin ikut denganku” Ujar Ludwig sebelum menaiki kudanya dan pergi meninggalkan Rangkuti.
Setelah Ludwig dan pasukannya pergi Rangkuti masih berdiri terpaku melihat tubuh Salim yang tersungkur membelakanginya beberapa meter dari tempatnya berdiri.
“bang Salim” begitu tadi kalau tidak salah nama yang ia dengar saat seorang berlari untuk menyelamatkan ketua pemberontak itu dari todongan pistol Ludwig. Sebuah nama yang juga dimiliki orang yang dikenalinya.
“ketua…” berangsur-angsur pasukan pemberontak menghampiri tubuh ketuanya juga teman mereka.
Purwa, seorang anggota pasukannya yang ahli pengobatan maju mendekati tubuh Salim.
“minggir kalian” ucapnya sambil menekan luka Salim dengan sobekan bajunya.
Salim mengerang kesakitan namun masih sempat menunjuk Rangkuti.
“kau mau kami membunuhnya ketua?” seorang anggota pasukannya mengarahkan golok ke leher Rangkuti. Salim dengan susah payah menggeleng tidak setuju.
“Rang…kuti” panggilnya pelan.
Rangkuti maju mendekati Salim lalu berlutut, wajahnya menatap Salim bingung dan penuh tanya.
“kau, bernama Salim? Bang Sa…lim yang ku kenal dulu”
Salim mengangguk.
Sontak Rangkuti berlinangan airmata “Ya Allah, bapak bilang kalau abang menjatuhkan diri ke jurang”
Salim menggeleng, kemudian meminta Purwa mengambil sepucuk surat yang disembunyikan dibalik bajunya. Surat itu diserahkannya pada Rangkuti.
“Kau bisa baca ini diperjalanan dan secepatnya pergi bersama anggota terbaik dari pasukanku” Nafas Salim mulai tercekat.
“tapi…” Rangkuti kebingungan menerima surat misterius yang sudah usang itu.
“ketua…” seru Purwa
“pergi dengannya dan bawa beberapa orang, jangan sampai terlambat.” ujar Salim terbata-bata.”Allah…akbar” Salim mulai muntah darah.
Purwa bergegas menghampiri seorang temannya “Hasan, kau pergilah dengan perempuan itu aku tak bisa meninggalkan ketua sekarang, nanti selepas mengurusnya akan kususul kalian” Ujar Salim.
Sementara Rangkuti berulangkali menyeru dan mengguncangkan tubuh Salim yang jatuh pingsan, berharap lelaki itu membuka matanya “Bang bangun bang, kenapa harus bertemu kembali seperti ini?”
Purwa menarik tubuh Rangkuti menjauh dari Salim “Uni, sudah biar saya yang urus ketua. Sekarang pergilah dengan Hasan sesuai permintaan ketua”
Rangkuti sempat menolak namun dilihatnya Salim mulai membuka mata dan kembali menyuruhnya pergi. Dengan langkah berat perlahan-lahan ia menjauh dari Salim dan bergegas menuju kuda. Baru beberapa langkah kuda yang ia tunggangi bersama Hasan, Rangkuti mampu mendengar seruan dari beberapa orang menyebut nama Salim dengan lirih. Rangkuti menoleh ke belakang tapi tak mampu lagi melihat tubuh Salim yang dikelilingi pasukan yang tinggal bersamanya.***

“Bang Saliiiim” Rangkuti berteriak memanggil nama Salim ditengah hutan.
Baru saja mereka bertemu namun Salim tiba-tiba menghilang. Rangkuti hampir menangis karena tidak mendapati Salim disana, padahal ia berjanji untuk menemui dirinya sehabis Ashar. Rangkuti juga takut untuk pulang sendiri, karena sudah terlanjur masuk sampai ke tengah hutan.
Bunyi-bunyi aneh terdengar dari balik tanaman merambat. Rangkuti mundur beberapa langkah, ia takut seekor babi hutan sedang mengintainya. Lalu satu tepukan mendarat dibahunya yang membuatnya hampir melompatt karena terkejut.
“hahaha…”
Dilihatnya Salim sedang tertawa geli dibelakangnya.
“kamu takut suara itu ya?” ujar Salim sambil cekikikan.
Rangkuti cemberut. Salim berhenti tertawa.
“Hei Jati keluarlah!” Salim memanggil nama seseorang. Kemudian orang itu muncul dari balik tanaman rambat.
“aku sedang mencari lubang kelinci dengannya tadi. Suara berisikmu membuat kelinci-kelinci itu bersembunyi kembali, makanya tak kujawab panggilanmu tadi. Ayo kenalkan dirimu pada Jati”
Rangkuti tidak mau mengulurkan tangannya.
“ayo…” Salim mendorongnya.
Jati mengulurkan tangannya, namun Rangkuti menyalaminya dengan malas.
“Rangkuti” ujar Rangkuti setengah berteriak.
“Jati”
“dia anak seorang demang, ti. Sempat tinggal di Holland. Aku sering berdiskusi dengannya. Banyak buku yang ia berikan padaku untuk ku baca”
“ooh” Rangkuti menanggapi dengan malas. Ia masih kesal dengan ulah Salim.
“maaf tadi aku menakutimu Rangkuti” sesal Jati.
Rangkuti tidak menanggapi, langsung menyolonjor duduk di tanah yang dipenuhi daun-daun karet yang rontok. Jati menjadi tidak enak hati.
Melihat itu, Salim menghampiri Rangkuti dan mengacak-acak rambutnya.
“tenang Jati,tak usah kuatir. Anak ini baik hatinya, pasti kau sudah dimaafkan. Tapi ya kurangnya dia memang senang sekali merajuk”
Rangkuti semakin menekuk mukanya mendengar perkataan Salim. Salim kemudian duduk disebelahnya.
“ayolah ti…” Salim mendorong sikunya pelan, namun Rangkuti masih mengabaikannya.
Salim merebahkan tubuhnya di tanah lalu bergumam. “Datuk ulama bilang, Tuhan diatas sana menyaksikan perbuatan tiap umatnya. Dia Yang Maha Esa juga memerintahkan hambaNYA agar menjadi orang yang sabar dan pemaaf. Semoga aku menjadi umatNYA yang sabar dan pemaaf”
Rangkuti menoleh pada Salim, “kau jahat bang, pintar sekali kau bawa-bawa ajaran agama dari datuk ulama”.
Salim tersenyum geli. Jati yang berada tak jauh dari mereka ikut tersenyum.
“Sini bang Jati” panggil Rangkuti. Jati menghampiri dan menyambut tangan Rangkuti yang diulurkan padanya.
“aku terima maafmu” Ujar Rangkuti sambil mendelik ke arah Salim.
“terimakasih” ucap Jati, kemudian ia pergi kesebelah Salim dan ikut merebahkan diri diatas tanah.
Salim menarik bahu Rangkuti supaya ikut rebah disebelahnya namun ia menolak. Salim menyerah dan kembali menyangga kepala dengan kedua tangannya. Tak lama Rangkuti ikut rebah namun menjaga jarak darinya. “jahat” ucap Rangkuti.
Salim menoleh dan tersenyum padanya.
“aku hanya sedikit bergurau tapi kau malah banyak merajuk” goda Salim.
“abang juga salah tadi, tapi belum minta maaf”
Mereka berdua berbicara sambil menatap langit.
“oh ya? rupanya telingamu jadi tebal sampai tak mendengar kata maafku”
“aku belum tuli bang, mulutmu itu belum mengeluarkan kata maaf padaku” protes Rangkuti sambil menoleh pada Salim.
“bukan mulutku yang berucap, tapi ini..” Salim menunjuk ke dadanya dan menatap Rangkuti penuh ledek.
“alamak! Roman dari bumi mana lagi ini?” Jati menepuk jidadnya lalu tertawa.
Salim terkekeh. Wajah Rangkuti menjadi merah.
“sssttt…” tiba-tiba Jati berhenti tertawa dan memberikan isyarat untuk diam.”kau dengar itu lim”
Salim diam lalu memasang telinganya. “suara langkah rusa, mana mungkin?” ujar Salim ragu.
“gak ada yang gak mungkin dialam Tuhan” Jati segera bangun dan berjalan mengendap-endap ke dalam hutan. Salim mengikutinya disusul juga oleh Rangkuti.
Ketiganya masuk hingga kedalam hutan, namun binatang yang mereka kejar berlari terlalu cepat meninggalkan mereka di sebuah tanah lapang.
“kita kehilangan binatang itu lim” ujar Jati kesal.
“sepertinya kita terlalu jauh masuk kedalam hutan” Salim menyadari mereka kehilangan arah.
Sementara Rangkuti menatap pada sebuah rumah kayu kecil yang ditutupi lumut tak jauh dari tanah lapang itu.
“bang Salim” panggilnya.
“apa ti?”
Rangkuti menunjuk rumah itu. Salim menatap heran “rumah ditengah hutan?”
Hati-hati ia bersama Jati memasuki rumah itu.
“sepertinya sebuah markas yang lama ditinggalkan” ujar Jati usai memeriksa dan mengamati beberapa bagian rumah kayu itu.

Dongeng Kakek


10 tahun lalu, satu hari sebelum hari kelulusanku. Tepat didepan sebuah pohon angsana disalahsatu blok komplek pemakaman, kusaksikan berpuluh orang bahkan mungkin ratusan berkumpul mengucapkan salam perpisahan untuknya. Bersanding bersama kekasih hati yang lebih dulu meninggalkannya, sebagaimana pesan terakhirnya. Masih kuingat betapa jelas tutur katanya disaat nafasnya mulai berat,

 “Di pagi cerah itu ditengah keriuhan orang yang berdiri memandangi kami dan beberapa yang membicarakan berita tentang pria pertama yang mendarat di bulan, ku bisikkan ditelinganya kalau aku akan terus menemani tidurnya sampai kapanpun dan dimanapun. Saat itu, aku memulai janjiku dalam persandingan bersamanya dipelaminan. Tapi, di usia sepuluh tahun pernikahan kami, ku hancurkan janji itu karena dia sendiri yang memintaku untuk tak lagi menemaninya tidur. Katanya, dia mau tidur lama dan tak ingin bangun lebih dulu dariku. Dia paksa aku untuk membuat janji lain. Dia minta aku berjanji kembali menemani tidurnya sampai aku bisa membacakan seratus dongeng untuk cucu kami. Semalam dia menghampiriku, dia bilang aku telah memenuhi janjiku dan boleh kembali menemani tidurnya”

Setelah berkata hal itu, yang ku ingat ia hanya tersenyum dan mengucapkan takbir sebagai kata terakhir dari mulutnya. Saat ia meninggalkan kami, usiaku baru beranjak 17 tahun. 4 bulan sebelumnya ia bersama ayah dan ibuku kompak memberikan kejutan untukku. Sebuah pesta paling meriah diantara hari ulangtahun yang pernah ku lalui. Ayah dan Ibu menghadiahkan sepeda motor untukku, anehnya sepeda motor itu tanpa kunci. Ayah hanya menunjuk padanya ketika kutanyakan “dimana kuncinya?”

Ia membelai lembut rambutku dan menyerahkan sebuah kotak kecil yang langsung secepatnya kubuka. Hanya sebuah gantungan kunci. Dia melihat kekecewaan diwajahku, namun segera menghiburku dengan kalimat2nya.

“apa yang kau lihat pada gantungan kunci itu?” tanyanya, lantas ku jawab “seekor penguin dari kayu”

“kubuat itu sendiri dengan tanganku” katanya.

“terimakasih” ku paksakan senyumku mendengarnya berkata bahwa ia yang membuat benda itu.

Ia mengambil benda itu dan mendekatkannya ke lampu di meja belajarku, memintaku untuk menghampirinya. Baru terlihat olehku kalau penguin itu nampak tersenyum.

“Pinguin adalah keluarga hewan yang kompak. Sang induk berjuang mengandung bayi telurnya didalam perut. Setelah ia mengeluarkan telur itu dari perutnya, pasangannya menjaga bayi telur itu dengan mengeraminya sampai menetas. Pasangan penguin bergantian dan sangat kompak dalam menjaga anak mereka, begitu juga orangtua. Aku pernah menjadi orangtua yang membesarkan anaknya meski seorang diri, dan sekarang ayah dan ibumu juga bersama menjagamu. Mereka menginginkan yang terbaik untukmu. Kuberikan gantungan kunci ini bukan untuk menggodamu ataupun menyamakan keluarga manusia kita dengan pinguin. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa kami akan selalu menyayangimu dan menginginkan yang terbaik untukmu. Kau berhak mendapatkan kunci motormu, tapi nanti setelah kau buktikan perjuanganmu dengan kelulusanmu.” ujarnya tersenyum lebar dan kali itu kubalas senyumannya dengan pelukan erat.

“terimakasih” di depan nisan yang berukir namanya kuucapkan kata-kata itu beberapa jam setelah aku dinyatakan lulus. Saat itu pula akhirnya kulihat ayah menangis. Hal yang tidak ia lakukan pada saat pemakaman, karena waktu almarhum dimasukan ke dalam tanah hanya ibu yang menangis tersedu, seolah ibu anak kandung yang ditinggalkannya. Ayah menangis tanpa suara setelah selesai membacakan Yasin. Ku peluk bahu ayah, dan ia menyeka airmatanya dengan saputangan yang ia ambil dari saku kemejanya.

“ayah aku ingat sekarang, dulu saat aku masih balita almarhum selalu bersenandung saat aku menangis ‘pinguin kecil jangan menangis, pinguin kecil jangan menangis…”

“menarilah meski hari dingin, berlarilah kemana kau ingin…” ayah melanjutkan nyanyianku.

Ayah kemudian bercerita padaku, ketika ia sakit dan merindukan kehadiran Ibunya, kakek selalu menyenandungkan lagu itu agar ia tertidur. Kakek adalah seorang pria kuat dan setia, begitu kata ayah padaku.

“Setiap pagi ia tak pernah melewatkan untuk membuatkan aku dan tantemu sarapan. Saat waktu istirahat kerja ia selalu bawakan makan siangnya dan makan bersama kami ditaman. Tak pernah mengeluh sakit didepan kami, bahkan ia seolah tak merasa sepi hidup sendiri. Ketika aku dewasa dan sering menanyakan keinginannya menikah lagi, ia selalu menjawab bahwa ia memang kehilangan satu orang yang ia kasihi namun ia tidak ingin memiliki yang lain saat ia sudah memiliki dua orang yang ia kasihi dan menyayanginya”

Usai bercerita tentang kenangannya bersama kakek, ayah kembali menangis namun langsung kuusap lembut kedua matanya. Kedua mata yang sama seperti yang dimiliki almarhum. Setiap memandangi ayah, seolah kulihat almarhum kakek hidup dalam dirinya. Orang yang sama-sama berjuang untuk anak-anaknya. Kakek berjuang sebagai ayah sekaligus ibu untuk Ayah dan tanteku. Begitu juga ayah bersama ibu memberikan semangat untukku, dikala sebagian besar orang meragukan kemampuan orang sepertiku yang pada umur 6 tahun terserang panas dan setelah itu kehilangan suaraku.

“Dua orang kakak beradik hidup hanya berdua di desa kecil di pesisir pantai yang berjarak ratusan kilometer dari kota. Rumah mereka hanyalah sebuah rumah kayu yang dibangun seadanya. Kedua orangtua mereka sudah meninggal, tenggelam saat tsunami menerjang desa tempat mereka tinggal. Terjangan air membawa semua benda, termasuk harta milik kedua orangtua mereka yang tak lagi tersisa. Harta yang mereka punya kini hanya pakaian bekas dan makanan instan, sumbangan warga kota tetangga yang tidak tertimpa bencana, juga sebuah kipas dari anyaman bambu yang diberikan seorangtua yang mereka temukan sekarat ketika tsunami terjadi. Orangtua itu meminta diberikan air, lalu sang kakak berlari mencari air kesana kemari sedangkan sang adik membacakan Al-Fatihah didekatnya. Ketika sang kakak membawakan botol air mineral yang hanya berisi 1/3 air, orangtua itu meminumnya dan mengucapkan terimakasih dengan memberikan sebuah kipas dari balik bajunya. Ini kipas biasa tapi jika kau memiliki 3 harapan yang mulia dan berdoa, kalian bisa mengipaskan harapan kalian dengan kipas ini. Setelah berkata pada mereka, orangtua itu meninggal dan kedua kakak-beradik itu langsung menguburkan juga tidak lupa mendoakanya sebagaimana mereka mendoakan kedua orangtua mereka.

Pada suatu hari sang kakak melihat adiknya memegangi perut sambil kesakitan. Sang kakak bertanya sebab dari sakitnya kemudian sang adik berkata bahwa ia belum sarapan tadi pagi. Makanannya ia berikan untuk tetangga mereka yang sejak kemarin kekurangan makanan karena jatah makanan tidak mencukupi jumlah anggota keluarga mereka yang banyak. Sang kakak merasa sedih melihat keadaan adiknya, ia lalu pergi ke hutan mencari buah-buahan untuk mengisi perut sang adik karena jatah makanan berikutnya baru bisa mereka dapatkan pada malam hari. Namun sampai malam hari dan sampai jatah makanan tiba sang kakak belum kembali dari hutan. Sang adik yang sudah tidak merasakan sakit diperutnya karena sudah diisi makanan dan obat dari sukarelawan yang datang kerumah mereka mulai merasa khawatir. Suasana desa mereka sudah gelap apalagi sudah hampir 1 bulan listrik padam setelah bencana terjadi. Sang adik memutuskan pergi sambil membawa lampu minyak dan beberapa benda yang dimasukkan dalam tas plastik. Walau didera rasa takut akan gelap dan sepinya hutan, namun ia terus berjalan menelusuri sisi hutan, merapalkan doa-doa dalam hatinya sambil sesekali berteriak memanggil nama sang kakak. Saat tiba disebuah pohon besar langkahnya terhenti karena dihadapannya ada seekor ular yang terlelap kekenyangan. Dia berpikir bahwa ular itu mungkin tertidur setelah memakan kakaknya sebab tidak jauh dari tempat ular itu tidur ada sebuah sandal milik sang kakak. Bukannya ketakutan, sang adik justru marah pada ular tersebut, dicarinya sebuah batu besar, lalu perlahan menghampiri ular dibawah pohon besar itu dan hendak melemparkan batu besar itu ke kepala ular. Namun saat ia bersiap melempar, ia mendengar suara setengah berbisik dari atas pohon yang meminta jangan membunuh ular tak berdosa itu. Sang adik terkejut karena suara itu adalah suara sang kakak. Sang kakak lalu berkata kalau ular itu telah memakan seekor kodok dibawah pohon ketika ia akan turun setelah mengambil buah di pohon tersebut. Sehingga sang kakak tidak bisa pulang karena tidak mau digigit ular itu. Sang adik kemudian mengeluarkan kipas yang dulu diberikan orangtua yang pernah mereka tolong. Ia kipaskan ular itu sambil berdoa dalam hati memohon pada Tuhan agar ular itu terlelap dan tidak menggigit sang kakak yang akan turun dari pohon. Sang adik kemudian meminta sang kakak untuk turun perlahan dari atas pohon. Doa mereka terkabul karena ular tidak terbangun saat sang kakak turun dan kaki kirinya menginjak sebagian tubuh ular. Sang kakak memeluk sang adik dan mengucapkan terimakasih. Sang adik juga berterimakasih pada kakaknya karena sudah bersusahpayah mencari buah untuk dirinya. Keesokan harinya sang adik mengusulkan pada sang kakak tentang  2 sisa harapan yang bisa mereka dapatkan. Sang kakak menyetujui usul adiknya, mereka lalu berdoa dan mengipaskan harapan mereka. Pada malam harinya listrik di desa mereka kembali menyala dan tetangga mereka tidak lagi kekurangan makanan. Pada hari selanjutnya banyak kebaikan yang terus datang ke desa mereka sampai desa itu kembali pulih dari bencana.”

“terimakasih dokter untuk dongeng malam ini” ucap seorang anak di ruang perawatan anak ketika asistenku selesai membacakan dongeng untuk mereka.

“terimakasih dokter” seorang anak yang lain menghampiri lalu mencium pipiku. Kubalas dengan satu kecupan di pipi merahnya, hal yang sama juga kulakukan saat satu persatu menghampiri tempat tidur mereka.

Kupandangi ruangan itu saat mereka mulai terlelap, lalu untuk kesekian kali kuambil gantungan kunci yang selalu kusimpan untuk mengingat kenangan dari pembuatnya. Sekarang, ayah bergantian bersama ibuku membacakan dongeng untuk cucu-cucu mereka, sedangkan aku meski tak mampu bercerita secara lisan, namun aku bisa menuliskan kembali kisah yang pernah ia ceritakan padaku untuk dibacakan pada mereka yang masih membutuhkan semangat dan imajinasi. “terimakasih kakek.” ***

 

 

 

Bekasi 02.21 Waktu Indonesia Bagian Insomnia

-DC-

**Note:

Persembahan untuk Alm. Muh. Nafis Arifin yang sering menceritakanku dan kakak2ku dongeng, saking banyaknya cuma 1 yang ku ingat, yaitu kisah kakak-adik,kipas, dan ular (kalo kisah kakak-adik yg diatas sudah dipermak dr cerita asli beliau). Tulisan ini juga dibuat krn mdengar lagu Autumn dari Paolo Nutini, yang mceritakan kehilangannya atas kematian kakeknya. Good song although it’s a sad song.